Jadi, Siapa Pembunuh Munir Sebenarnya?

Minggu, 11 Januari 2009

Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwopranjoyo, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), terdakwa pembunuh Munir Said Thalib, pada 31 Desember 2008 akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Suharto. Jaksa Cyrus Sinaga dinilai tak bisa membuktikan “motif dendam”.

Sebelumnya, Jaksa Cyrus mengurai motif mantan Danjen Kopassus itu “menghabisi” terkait langkah Munir mengungkap kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998 oleh Tim Mawar Kopassus. Ia lalu dicopot dari Danjen Kopassus yang baru diemban 52 hari. Ini menyebabkannya sakit hati dan dendam.

Dakwaan terhadap Muchdi juga didasarkan atas keterangan Corporate Security PT Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto (telah divonis 20 tahun). Polly mengaku sudah mendapatkan “ikan besar” di Singapura. Maknanya, lanjut Jaksa Cirus, dia berhasil membunuh Munir.

Atas tuduhan itu, BIN tak bisa begitu saja lepas tangan dari konsekuensi hukum yang dihadapi Muchdi. Apalagi, Polly, mantan Dirut Garuda Indra Setiawan, dan Direktur VI BIN Budi Santoso, juga menyebut Muchdi, mantan Kepala BIN Hendropriyono, serta Wakilnya M. As’ad Ali di persidangan.

Haruskah BIN membuka misteri kematian Munir secara transparan? Tak ada salahnya jika BIN terpaksa harus membukanya. Mengapa harus Munir dibunuh? Siapa sebenarnya pelakunya? Adakah ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM Indonesia? Adakah ini hasil operasi Indonesia Contra?

Artinya, Munir justru dihabisi intelijen asing (baca: Central Inteligence Agency-CIA) dalam operasi Indonesia contra? Mengapa Polly terbang satu pesawat dengan Munir? Ini tak diungkap secara transparan – meski di persidangan terungkap, dia jaringan BIN. Apa benar “ikan besar” itu adalah Munir thok?

Rencana Munir melanjutkan studinya di Belanda sebenarnya telah diketahui BIN atas laporan agen yang dekat dengan Munir. Selain untuk studi dengan biaya sebuah lembaga asal Amerika Serikat (AS), sedianya pada 7 September 2004 itu Munir mau menyerahkan “dokumen rahasia” pelanggaran HAM.

Konon, Munir dari Jakarta membawa 2 tas. Koper berisi pakaian, dan tas kerja hitam isinya dokumen pelanggaran HAM di Indonesia seperti peristiwa Tanjungpriok, Warsidi Lampung, Timor-Timur, dan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh. Jadi, “ikan besar” itu adalah sandi dari “dokumen rahasia”?

Sejak berangkat dari Jakarta, Munir dikawal 6 agen asing yang beroperasi Indonesia. Mereka membayangi Munir untuk memastikan keamanan selama perjalanannya. Tapi, ternyata mereka tahu jika keberangkatan Munir itu juga dibayangi agen BIN. Sehingga, rencana itu gagal. Jadi, ini masalahnya!

Sebagai jaringan BIN, wajar jika Polly juga tahu rencana “serah-terima” dokumen di Bandara Changi, Singapore. Makanya, Polly selalu bersama Munir hingga rehat di Café Bean, Changi. Karena gagal, agen asing yang menyaru sebagai pelayan café itu meracuni minuman Munir dengan arsenik cair.

Padahal, Polly sempat mencegah agar Munir tak meminumnya, dan menawarkan kopi pesanannya, tapi ditolak. Beberapa saat sebelum meninggalkan cafe, Munir mulai tampak linglung. Bisa jadi, Munir dibunuh karena dianggap membahayakan jika BIN menangkap Munir dan agen asing penerima tas itu.

Supaya jaringan intelijen asing ini tak terbongkar, maka Munir harus dihabisi. Selang sekitar 3 jam setelah Garuda meninggalkan Bandara Changi, melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Munir mulai sakit perut dan muntah. Pertolongan dr. Tarmizi Hakim di atas pesawat, gagal: Munir tewas!

Anehnya, hasil otopsi lembaga forensik pemerintah Belanda (Netherland Forensisch Instituut-NFI) baru diketahui 2 bulan kemudian. Disebutkan, di lambung Munir terdapat kandungan racun arsenik melebihi batas maksimal yang bisa ditoleransi tubuh: 456 mg.

Mengapa NFI menyerahkan hasil otopsinya pada Indonesia begitu lama? Mungkinkah lembaga intelijen Belanda FDN dan Inggris M-16 terlibat dalam operasi Indonesia contra ini? Sudah bukan rahasia lagi, beberapa lembaga intelijen asing rajin mendanai aktivitas “pejuang” HAM di Indonesia.

Untuk membuktikan sinyalemen itu, ada baiknya dilakukan audit terhadap beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, darimana dana pendukung aktivitas mereka. Bukan tidak mungkin, KONTRAS yang didirikan Munir juga sering menerima dana bantuan semacam itu.

Imbalannya, melalui LSM yang dibiayainya, intelijen asing bisa memperoleh beragam informasi penting seperti dokumen rahasia yang saat itu dibawa Munir hingga di Bandara Changi. Sayangnya, begitu Munir ditemukan tewas, tas hitam itu raib. Entah dari intelijen mana yang mengambilnya.

Dengan kematian Munir, pihak yang paling dirugikan adalah intelijen Indonesia (baca: BIN). Sebab, BIN menganggap, Munir adalah aset negara yang bisa dimanfaatkan untuk membongkar jaringan intelijen asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, tidak mungkin BIN terlibat pembunuhan Munir.

Apalagi, penyebab kematian Munir adalah racun arsenik cair yang tak dimiliki BIN. Dari puluhan jenis racun arsenik, yang meracuni Munir adalah jenis arsenik yang hanya dimiliki CIA. Dari investigasi BIN di Changi setelah kasus itu, pelayan yang mengantar minuman sudah tidak ada lagi.

Terungkap pula, ternyata si pelayan baru bekerja di café itu sekitar 3 bulan. Setelah Munir terbunuh, pelayan ini menghilang. Pemilik café juga berganti. Jadi, sejak 3 bulan sebelumnya, Munir menjadi target operasi Indonesia contra. Berhasil atau gagal memberi dokumen, Munir tetap dibunuh!

Bagi intelijen asing, dokumen yang dibawa Munir itu sangat penting. Sebab, dengan dokumen itu, mereka bisa menyeret Indonesia ke Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda. NFI sendiri cenderung mempersulit pemerintah Indonesia ketika meminta hasil otopsi dan sample organ Munir.

Itu yang memperkuat dugaan, operasi Indonesia contra atas Munir ini juga melibatkan intelijen FDN. Terlebih lagi, Suciwati, istri Munir menolak otopsi ulang. Padahal, dengan otopsi ulang atas jenazah Munir, bisa mengungkap dugaan adanya keterlibatan agen asing dalam pembunuhan Munir ini.

Sayangnya, Polri tak berusaha menyentuh dugaan tersebut. Polri lebih suka mengusik mantan pejabat BIN seperti Muchdi. Padahal, di manapun tidak semua operasi intelejen bisa dibuka secara transparan. Jadi, ada baiknya BIN mengungkap hasil investigasinya ke publik agar tidak timbul fitnah.*

3 komentar

Anonim mengatakan...

Gitu dong Kang... Kan enak kalau punya blog kita bisa langsung saling memberi comment...

Tapi bingung apa yang mau dikomentari soalnya komentarnya dah diborong di blognya pak Nurhana. Hahahaha...:)

Tabik....

21 Januari 2009 pukul 06.11
Anonim mengatakan...

Kang Toha..., mohon komentarnya atas 2 tulisan bersambung saya soal Pemilu... Nuhun...

23 Januari 2009 pukul 00.36
mochamadtoha mengatakan...

Terima kasih Kang atas coment Anda. Saran dan masukan dari Kang Mahendra tetap saya nantikan di blog ini. Semoga bermanfaat. Salam.

25 Januari 2009 pukul 05.53