PDIP Kecam Iklan Politik SBY Soal Penurunan Harga BBM

Minggu, 25 Januari 2009

Sumber : Jawa Pos [ Jum'at, 23 Januari 2009 ]

JAKARTA - Iklan politik Partai Demokrat versi penurunan harga BBM yang familier dengan kalimat ''Terimakasih, Pak SBY'' benar-benar membuat PDIP kebakaran jenggot. Sebagai partai yang memilih oposisi, PDIP menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat tidak pantas mengampanyekan penurunan harga BBM sebagai kebijakan yang sukses.

''Tak perlu menjadi ahli perminyakan atau ahli ekonomi untuk tahu bahwa penurunan itu sudah otomatis saja mengikuti turunnya harga minyak dunia,'' kata Sekjen PDIP Pramono Anung di Megawati Institute, Jalan Proklamasi, Jakarta, kemarin (22/1).

Dengan demikian, imbuh Pram -begitu Pramono akrab disapa-, penurunan harga BBM kali ini tidak memerlukan inovasi atau kerja ekstra. ''Presiden SBY sebaiknya mempertimbangkan kembali penayangan iklan turunnya harga BBM itu,'' ujarnya.

Dalam kesempatan itu, tampak hadir Ketua DPP PDIP Bidang Perempuan Puan Maharani, Direktur Megawati Institute Arif Budimanta, dan pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latief.

Lebih dari itu, lanjut Pram, harga BBM di Indonesia seharusnya bisa lebih rendah dari Rp 4.500. Sebab, pada 2004, ketika harga minyak dunia USD 36,05 per barel, harga BBM nasional Rp 1.955. Saat ini harga minyak dunia sekitar USD 40 per barel.

''Sekarang rakyat yang menyubsidi pemerintah,'' sindirnya. Dia juga menuding SBY juga sengaja memainkan penurunan harga BBM dengan menurunkan secara bertahap hingga tiga kali. ''Karena mau pemilu, ini untuk mendongkrak popularitas dan mendapatkan simpati publik,'' tegasnya.

Menurut Pram, lewat iklan politiknya, Presiden SBY berpotensi ikut menumbuhkan tradisi demokrasi yang kurang sehat. Malah itu dapat menyentuh pelanggaran etika politik berupa kebohongan publik. ''Apa lagi namanya kalau mengklaim sesuatu yang bukan menjadi prestasinya,'' kata Pram.

Yudi Latief juga melayangkan kritik. Menurut dia, iklan penurunan harga BBM yang menampilkan dukungan artifisial rakyat kepada SBY mengandung kekeliruan.

Menurut Yudi, publik harus kritis menilai penurunan harga BBM secara bertahap hingga tiga kali apakah indikasi keberhasilan atau ketidakmampuan pemerintah melakukan kajian yang tepat.

''Turun sampai tiga kali itu justru kegagalan karena keputusannya bersifat trial dan error. Pemerintah, tampaknya, tidak mampu membuat keputusan yang presisi data-data dan dikaitkan tren global,'' katanya.

Dia menyampaikan, penurunan harga BBM bukan prestasi bila tidak diiringi penurunan harga-harga dan pengendalian angka PHK. ''Apakah tidak ada keberhasilan lain pemerintahan ini yang bisa diiklankan tim kampanye SBY sampai-sampai hal remeh begitu diklaim sebagai prestasi,'' ujarnya.

Apa reaksi kubu SBY? Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum membantah spekulasi yang menyebutkan penurunan harga BBM bertahap sebagai bagian dari strategi politik SBY.

Menurut Anas, tidak ada skenario khusus seperti itu menjelang pemilu. ''Kalau ada yang menduga begini-begitu, silakan saja. Itu perspektif politisasi, malah lebih sempit lagi, perspektif pemilu,'' kata mantan Ketua Umum PB HMI itu. (pri/mk)

CATATAN:

Kreativitas Partai Demokrat (PD) dengan mengambil moment penurunan harga BBM 3 kali tersebut memang patut disayangkan. Mestinya, PD tidak perlu mengklaim secara pribadi (partai) sebagai sukses Presiden SBY. Karena, di Pemerintahan Koalisi ini masih ada partai lainnya seperti Partai Golkar, PPP, PBB, PAN, dan PD sendiri. Itulah mengapa Golkar "tidak terima" dengan iklan "Terima Kasih Pak SBY".

Memang tidak sepatutnya PD mengklaim "sukses" penurunan itu sebagai hasil kerja keras SBY semata. Sebagai partai yang ikut menyumbang M. Jusuf Kalla sebagai Wapres tentu saja sangat keberatan dengan materi iklan tersebut. Suara keras justru datang dari PDIP yang mengkritik iklan PD sebagai "bukan prestasi", karena penurunan harga BBM itu mengikuti harga pasar (dunia).

Namun yang perlu dicatat, keputusan untuk menurunkan harga BBM sampai 3 kali itu bukanlah suatu hal yang begitu mudah bisa dilakukan, jika seorang pemimpin tidak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Andai Megawati saat ini jadi presiden, saya yakin, ia juga mengambil keputusan serupa. Atau, malah akan tetap bertahan dengan harga yang ada.

Ingat, saat ia menjabat presiden selama 3 tahun, Megawati menaikkan harga BBM sebanyak 3 kali. Jadi, seharusnya sebelum melontarkan kritik, ada baiknya PDIP instropeksi dulu, apa saja yang pernah dilakukan Megawati. Iklan "sembako murah" yang kini ditawarkan di televisi dan radio serta media cetak, tidak bisa dijadikan sebagai tawaran yang menarik, karena justru akan merendahkan derajat petani kita.

Bagaimana menurut Anda Pembaca Budiman?

2 komentar

Anonim mengatakan...

m toha, asswrwb....

tanpa bermaksud menggurui, memang begitulah kecenderungan dan kelemahan kita semua...lebih menonjolkan egoisme dan kepentingan pribadi dan golongan...akibatnya saling menjelekan, bukan saling membantu dan mendukung...

celakanya lagi, mereka yang dulunya berteriak protes tentang ketidak baikan penguasa, eh setelah berkuasa justru melakukan hal yang sama atau bahkan lebih parah...

saya melihatnya semua ini hanya proses pembelajaran bagi bangsa Indonesia nyang sedang belajar hidup berdemokrasi...jangan terlalu diambil hati....Allah dengan berbagai Hukum Alamnya yang tidak terbantahkan akan membilas semua ketidak benaran dan akan memunculkan kejujuran, kebenaran dan keadilan hakiki...yang penting kita harus menjaga agar kita sebagai penulis jangan mengkompori dan menghakimi...karena apapun yang terjadi sebenarnya hanya Allah yang Maha Tahu...
Kita penulis harus mengajak pembaca untuk melakukan suatu renungan dan mengingatkan mereka kepada inti falsafah Pancasila yaitu "Gotong Royong"....saling membantu,,,bukan saling menyerang...

26 Januari 2009 pukul 11.56
mochamadtoha mengatakan...

Wa'alaikum Salam WrWb.

Terima kasih Pak Nurhana. Memang benar. Masyarakat kita ini sedang dalam proses pembelajaran demokrasi. Hanya saja, mestinya, ketika belajar itu tak punya etika politik.

Berteriak-teriak "membela" rakyat yang lagi susah, seolah dia tidak pernah menyengsarakan rakyat juga. Mereka tiba-tiba menjadi "ekonom" yang paling tahu bagaimana mencari solusi soal krisis ekonomi yang berkepanjangan ini.

Mungkin memang begitulah kualitas politisi kita. Mereka lebih suka mengembangkan demokrasi politik "balas dendam", bukan "demokrasi produktif", demokrasi yang bisa menghasilkan sesuatu yang manfaat bagi kehidupan bangsa dan negara.

Seperti kata Pak Nurhana, saya juga punya keyakinan, pasti Allah akan menurunkan pemimpin yang bisa mengubah bangsa ini menjadi lebih baik dan bermartabat. Amin.

26 Januari 2009 pukul 17.55