Bahaya Politik Balas Dendam

Senin, 16 Februari 2009

Oleh : MOCHAMAD TOHA

Sejarah Raja-raja Jawa mencatat, Ken Arok awalnya hanya seorang rakyat jelata, anak Ken Endok, petani desa di tepi Sungai Brantas di kawasan Tumapel, yang berada di utara Kota Malang sekarang. Ia lahir dalam keadaan yatim. Ibunya lalu membuangnya dengan harapan agar bayi itu ditemukan dan diasuh seseorang.

Ken Arok akhirnya ditemukan Lembong, seorang pencuri. Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sebagai pencuri dan penyamun, menjadi pencuri cerdik dan panjang akal. Lantaran tangguh dan uletnya, nama Ken Arok sampai terdengar Tunggul Ametung, Raja Tumapel. Ia pun diangkat menjadi Punggawa Raja.

Sebagai salah seorang pengawal raja, Ken Arok selalu berada di dekat Raja Tumapel itu. Karena dekat, ia pun sering melihat dan tertarik dengan kecantikan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Kecakapannya ternyata juga menjadi daya tarik bagi Ken Dedes. Ken Arok lantas menyusun siasat untuk merebut Ken Dedes.

Ia bertekad “merampas” Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung. Satu-satunya jalan ya harus membunuhnya. Ken Arok lalu memesan keris kepada Empu Gandring. Namun, belum tuntas garapan kerisnya, ternyata Ken Arok keburu datang. Ia marah dan menusuk Empu Gandring dengan keris pesanannya sampai tewas.

Konon, sebelum tewas, Empu Gandring sempat bersumpah, 7 orang raja akan menjadi korban keris itu. Tunggul Ametung menjadi korban pertama. Ken Arok pun menjadi raja, setelah memperistri Ken Dedes. Di tangan Ken Arok, Sri Kertajaya, Raja Kadiri, berhasil dikalahkan dalam Perang Ganter yang terjadi pada 1222.

Sejak itu tamatlak riwayat Kerajaan Kadiri yang dibangun Raja Kahuripan Airlangga. Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singosari dan bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Amurwabhumi, dan memerintah hanya dalam kurun waktu 5 tahun (1222-1227). Ia tewas di tangan pengalasan Anusopati, putra Tunggul Ametung.

Tidak hanya sampai di sini. Keris Empu Gandring ini juga akhirnya menjadi pencabut nyawa Anusopati yang sempat menjadi Raja Singasari. Pelakunya adalah Tohjaya, anak Ken Arok dari selir Ken Umang. Di sinilah muncul “politik balas dendam” dalam wangsa Ken Arok yang kelak menjadi cikal bakal raja-raja Jawa.

Hasil perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes membuahkan anak bernama Mahesa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rimbu. Dari selir Ken Umang, Ken Arok memiliki anak bernama Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi. Politik balas dendam inikah yang diwarisi sekarang ini?

Ketika Presiden Soekarno dijatuhkan lewat Super Semar, mendiang Bung Karno tidak mau ditengok Presiden Suharto di saat-saat menjelang akhir hayatnya. Tatkala Presiden Suharto dilengserkan Ketua DPR-MPR Harmoko yang lantas menetapkan B.J. Habibie sebagai Presiden RI, dendam politik masih saja terjadi.

Hingga menjelang akhir hayatnya, Habibie dan Harmoko belum pernah bertemu Pak Harto. Situasi seperti ini sempat pula ditempuh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, setelah dijatuhkan Ketua DPR Akbar Tanjung bersama Ketua MPR Amin Rais yang lalu mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.

Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim As’ary yang akrab dipanggil Gus Dur tersebut sempat enggan bicara dan bertemu dengan Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Megawati, karena merasa “dikhianati”. Dalam setiap upacara HUT RI pun, Gus Dur tak pernah hadir di Istana Negara. Ini politik balas dendam!

Kenyataan seperti itu kini juga dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bibit dendam politik ini mulai muncul sejak SBY mundur dari jabatan Menkopolkam di masa pemerintahan Presiden Megawati. Bapak Negara Taufik Kiemas, suami Megawati, pernah menyebut SBY sebagai jenderal “kekanak-kanakan”.

Sejak itulah bibit “konflik politik” antara Pemerintah (baca: SBY – Wakil Presiden M. Jusuf Kalla) dengan Megawati sebagai “oposisi” mulai tumbuh. Kebijakan Pemerintah selalu dikritisi secara negatif. Megawati pernah menilai Pemerintah seperti tarian Poco-Poco, maju selangkah, mundur dua langkah. Lalu dibalas!

Jika kebijakan pemerintahan SBY-JK tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, “Megawati ibarat penari undur-undur.” Artinya, “Tidak pernah maju, tetapi mundur terus.” Jika Megawati berhasil, mestinya menang dari SBY. Ternyata Megawati kalah alias tidak dipilih kembali oleh rakyat Indonesia.

Wapres JK tak kalah sengit. Prestasi pemerintahannya bersama SBY jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pemerintahan Megawati. Kata JK, poco-poco itu sehat. Lagian, “Gerakannya bersatu. Langkah (dalam tarian poco-poco) itu yang paling ritmis.” JK balik menyebut, pemerintahan Megawati ibarat “tarian dansa”.

Hanya berputar-putar di tempat. “Poco-poco jauh lebih baik dari dansa-dansa yang berputar-putar, sambil jualan gas yang murah pula,” ungkapnya. Pada 24 Maret 2002, Megawati menjalankan “diplomasi dansa” dengan Presiden Tiongkok Jiang Zamin saat berkunjung ke Beijing.

Ketika itu, Megawati menyanyikan lagu Bengawan Solo di depan Presiden Jiang yang disambut lagu Tiongkok Bagaimana Saya Tak Kehilangan Dia. Diplomasi dansa dijalani Megawati untuk melobi Beijing agar mau membeli LNG dari lapangan Tangguh di Papua untuk industri di Guang Zhou dan Fujian.

Dan, diplomasi ini berhasil membuahkan kontrak penjualan sebesar 2,6 juta metric ton LNG per tahun untuk Provinsi Fujian dengan harga jual USD 2,4 per MMBTU (Million British Thermal Unit). Harga itu jauh lebih murah dibanding dengan harga pasar yang saat itu mencapai USD 6 per MMBTU.

JK jelas tahu mengenai hal tersebut. Karena, dia dulu pernah menjadi Menkokesra di pemerintahan Presiden Megawati menjabat presiden. JK juga tak mau jika pemerintahan yang dibangun bersama SBY dinilai gagal. Kini, Megawati tetap menilai negatif terhadap kinerja Presiden SBY dengan sebutan seperti Yoyo.

Penilaian Megawati itu dijawab dengan iklan “naik-turun” anggaran dan harga BBM. Rakyat hanya bisa menjadi penonton telenovela panggung politik dan perseteruan para pemimpin mereka. Tak hanya itu. Rakyat lantas bisa menilai, ternyata para politisi dan pemimpin kita memang seperti “kekanak-kanakan”.@

Di posting from www.koransuroboyo.com

Etika Politik Iklan Politisi

Minggu, 01 Februari 2009

Sumber : Jawa Pos [Sabtu, 31 Januari 2009]

Simak iklan ini: “Saya, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan menginstruksikan kepada segenap jajaran pengurus DPD, DPC, PAC, dan Ranting beserta seluruh kader, anggota, dan simpatisan PDI Perjuangan se-Jawa Timur untuk membela dan mempertahankan kemenangan KAJI dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur tanggal 4 November 2008, sesuai hasil quick count dan hitung manual Tim Kaji. Lawan dan hadapi, segala bentuk aksi kecurangan dan pendholiman”.

Pantaskah instruksi terbuka mantan dan calon presiden yang dapat membakar emosi, membangkitkan amarah, dan menyulut benturan antar massa itu diucapkan oleh seorang tokoh dan politisi sekaliber Megawati? Kalimat yang disampaikan itu jelas tanpa tedeng aling-aling dan merasa “paling benar”.


Iklan politik yang mengajak “lawan dan hadapi” perilaku curang dan dholim dalam Pilgub Jatim putaran II antara pasangan calon gubernur-wakil gubernur (cagub-cawagub) Khofifah-Mudjiono (Ka-Ji) dengan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KarSa) itu bisa memicu konflik horizontal di Jatim.

Jika instruksi itu ditelan mentah-mentah tanpa pertimbangan, dapat berakibat fatal dan akan merugikan banyak pihak, terutama pendukung KarSa. Mereka bisa menjadi sasaran amarah pendukung Ka-Ji. Apakah ini yang dikehendaki para politisi di sekitar Megawati?

Megawati yang notabene seorang Ibu tak mungkin tega melihat “anak-anak” bangsa ini bertikai sampai berdarah-darah hanya karena berebut jabatan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Mungkin memang seperti itulah kualitas politisi kita. Tidak punya etika politik dalam beriklan!

Bicaranya ngawur dan provokatif tanpa menghitung dampak yang bisa terjadi. Pesan yang disampaikan cenderung menyerang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah gerah ketika Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto merilis “iklan miskin” di media televisi.

Dalam iklan di awal 2008 lalu itu, Wiranto melakukan “serangan terbuka” terhadap Presiden SBY. Angka kemiskinan di Indonesia yang diungkap Wiranto acuannya Bank Dunia sebesar 49,5 persen. Sedangkan Presiden SBY memakai data Biro Pusat Statistik (BPS): 16,5 persen.

Iklan Wiranto itu berbeda dengan iklan Prabowo Subianto. Pesan iklan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini lebih simpatik. Mengajak rakyat untuk mengkonsumsi produk pertanian kita. Juga mengungkap betapa kayanya alam Indonesia Menggugah semangat kemandirian.

Wajar jika iklan Prabowo tersebut bisa mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya sebagai salah satu capres yang naik terus, seperti ditunjukkan Lembaga Survey Nasional (LSN). Hasil jajak pendapat LSN pada 20-27 September 2008 memposisikan Prabowo di tiga besar, setelah SBY dan Megawati.

Sayangnya, pesan peningkatan taraf hidup petani yang disampaikan Prabowo itu telah direndahkan Megawati dengan kampanye “sembako murah” yang ditayangkan di televisi.
Iklan sembako murah itu bisa menjadi blunder bagi PDIP dan Megawati.

Lihat saja reaksi Ketua Umum DPP Partai Golkar M. Jusuf Kalla (JK) yang menilai iklan sembako murah itu sebagai sesuatu yang “berbahaya”, karena merugikan 40 juta petani kita. JK pun minta rakyat tak memilih partai sembako murah.

Bagaimana iklan Golkar? Jika disimak, munculnya iklan JK “juru damai” di televisi ini sejatinya adalah bentuk reaksi atas iklan Partai Demokrat (PD) yang mengakui 3 kali penurunan harga BBM sebagai “sukses” Presiden SBY. Iklan BBM turun 3 kali ini pula yang direaksi keras oleh PDIP.

Terlepas dari hitungan ekonomis penyebab turunnya harga BBM, mestinya PD tidak serta-merta mengklaim kebijakan itu sebagai sukses SBY semata. Ini yang menyebabkan Golkar “tersinggung”. Karena, penurunan harga BBM ini adalah keputusan Pemerintah, bukan SBY pribadi!

Di situ ada menteri “partai koalisi”, seperti Golkar, PPP, PAN, PBB, dan PD sendiri. Dari sini tampak sekali, partai kurang cerdik dalam mengemas isi pesan. Mungkin iklan “Hidup Adalah Perbuatan” Ketua Umum DPP PAN Sutrisno Bachir (SB) dan Prabowo lebih “beretika politik”.

Momen Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional dipakai SB supaya lebih dikenal masyarakat. SB rela merogoh koceknya sebesar Rp 300 miliar. Saat bertemu wartawan di Surabaya, SB mengakui, menjadi capres atau cawapres harus populer. Untuk itu memang butuh dana yang tidak sedikit.

Temuan Nielsen Media Research Indonesia pada 2008 mencatat, sekitar Rp 2,2 triliun dana telah dibelanjakan untuk kepentingan kampanye partai dan publikasi capaian kinerja pemerintah. Besaran belanja iklan politik dan pemerintah ini meningkat tajam sekitar 66 persen dibanding pada 2007 (Rp 1,32 triliun).

Data yang dirilis Business Development Nielsen Media Reserarch Maika Randini di Jakarta pada 20 Januari 2009 itu menyebutkan, alokasinya sebagian besar tersedot untuk media cetak, yaitu Rp 1,31 triliun. Nilai ini melampaui jumlah belanja iklan politik dan pemerintahan di televisi (Rp 862 miliar).

Sisanya, Rp 86 miliar, dibelanjakan di majalah. Riset itu juga menulis, banyak koran lokal yang menikmati dana iklan politik dan pemerintahan dari belanja iklan calon kepala daerah. Belanja iklan ini naik 181 persen dari Rp 64 miliar (2007) menjadi Rp 180 miliar (2008).

   PD rata-rata mengeluarkan dana Rp 15,5 miliar/bulan. Disusul Gerindra (Rp 8 miliar), Golkar (Rp 5 miliar), PKS (Rp 2 miliar), dan PDIP (Rp 1,5 miliar). Sebanyak 93 media cetak, 19 stasiun televisi, dan 151 majalah serta tabloid, telah menikmati duwit belanja iklan politik partai dan pemerintah.

Belanja iklan politik ini akan semakin intensif bersamaan dengan berjalannya “Tahun Politik 2009” dengan 2 agenda pemilu (Legislatif dan Presiden). Pertarungan iklan politik bisa semakin sengit. Hanya saja yang perlu dijaga, iklan itu harus punya etika politik dan materinya lebih cerdas.

Jangan menampilkan iklan bernada provokasi dan memojokkan. Sebab, pesan seperti ini bisa membuat rakyat antipati pada partai dan tokohnya. Rakyat kini tak bisa dikibuli dengan pesan dan janji politik. Rakyat sudah bosan dengan “konflik politik” yang tidak pernah selesai!*

Etika Politik Iklan Politisi

PDIP Kecam Iklan Politik SBY Soal Penurunan Harga BBM

Minggu, 25 Januari 2009

Sumber : Jawa Pos [ Jum'at, 23 Januari 2009 ]

JAKARTA - Iklan politik Partai Demokrat versi penurunan harga BBM yang familier dengan kalimat ''Terimakasih, Pak SBY'' benar-benar membuat PDIP kebakaran jenggot. Sebagai partai yang memilih oposisi, PDIP menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat tidak pantas mengampanyekan penurunan harga BBM sebagai kebijakan yang sukses.

''Tak perlu menjadi ahli perminyakan atau ahli ekonomi untuk tahu bahwa penurunan itu sudah otomatis saja mengikuti turunnya harga minyak dunia,'' kata Sekjen PDIP Pramono Anung di Megawati Institute, Jalan Proklamasi, Jakarta, kemarin (22/1).

Dengan demikian, imbuh Pram -begitu Pramono akrab disapa-, penurunan harga BBM kali ini tidak memerlukan inovasi atau kerja ekstra. ''Presiden SBY sebaiknya mempertimbangkan kembali penayangan iklan turunnya harga BBM itu,'' ujarnya.

Dalam kesempatan itu, tampak hadir Ketua DPP PDIP Bidang Perempuan Puan Maharani, Direktur Megawati Institute Arif Budimanta, dan pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latief.

Lebih dari itu, lanjut Pram, harga BBM di Indonesia seharusnya bisa lebih rendah dari Rp 4.500. Sebab, pada 2004, ketika harga minyak dunia USD 36,05 per barel, harga BBM nasional Rp 1.955. Saat ini harga minyak dunia sekitar USD 40 per barel.

''Sekarang rakyat yang menyubsidi pemerintah,'' sindirnya. Dia juga menuding SBY juga sengaja memainkan penurunan harga BBM dengan menurunkan secara bertahap hingga tiga kali. ''Karena mau pemilu, ini untuk mendongkrak popularitas dan mendapatkan simpati publik,'' tegasnya.

Menurut Pram, lewat iklan politiknya, Presiden SBY berpotensi ikut menumbuhkan tradisi demokrasi yang kurang sehat. Malah itu dapat menyentuh pelanggaran etika politik berupa kebohongan publik. ''Apa lagi namanya kalau mengklaim sesuatu yang bukan menjadi prestasinya,'' kata Pram.

Yudi Latief juga melayangkan kritik. Menurut dia, iklan penurunan harga BBM yang menampilkan dukungan artifisial rakyat kepada SBY mengandung kekeliruan.

Menurut Yudi, publik harus kritis menilai penurunan harga BBM secara bertahap hingga tiga kali apakah indikasi keberhasilan atau ketidakmampuan pemerintah melakukan kajian yang tepat.

''Turun sampai tiga kali itu justru kegagalan karena keputusannya bersifat trial dan error. Pemerintah, tampaknya, tidak mampu membuat keputusan yang presisi data-data dan dikaitkan tren global,'' katanya.

Dia menyampaikan, penurunan harga BBM bukan prestasi bila tidak diiringi penurunan harga-harga dan pengendalian angka PHK. ''Apakah tidak ada keberhasilan lain pemerintahan ini yang bisa diiklankan tim kampanye SBY sampai-sampai hal remeh begitu diklaim sebagai prestasi,'' ujarnya.

Apa reaksi kubu SBY? Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum membantah spekulasi yang menyebutkan penurunan harga BBM bertahap sebagai bagian dari strategi politik SBY.

Menurut Anas, tidak ada skenario khusus seperti itu menjelang pemilu. ''Kalau ada yang menduga begini-begitu, silakan saja. Itu perspektif politisasi, malah lebih sempit lagi, perspektif pemilu,'' kata mantan Ketua Umum PB HMI itu. (pri/mk)

CATATAN:

Kreativitas Partai Demokrat (PD) dengan mengambil moment penurunan harga BBM 3 kali tersebut memang patut disayangkan. Mestinya, PD tidak perlu mengklaim secara pribadi (partai) sebagai sukses Presiden SBY. Karena, di Pemerintahan Koalisi ini masih ada partai lainnya seperti Partai Golkar, PPP, PBB, PAN, dan PD sendiri. Itulah mengapa Golkar "tidak terima" dengan iklan "Terima Kasih Pak SBY".

Memang tidak sepatutnya PD mengklaim "sukses" penurunan itu sebagai hasil kerja keras SBY semata. Sebagai partai yang ikut menyumbang M. Jusuf Kalla sebagai Wapres tentu saja sangat keberatan dengan materi iklan tersebut. Suara keras justru datang dari PDIP yang mengkritik iklan PD sebagai "bukan prestasi", karena penurunan harga BBM itu mengikuti harga pasar (dunia).

Namun yang perlu dicatat, keputusan untuk menurunkan harga BBM sampai 3 kali itu bukanlah suatu hal yang begitu mudah bisa dilakukan, jika seorang pemimpin tidak punya keberanian untuk melakukan hal itu. Andai Megawati saat ini jadi presiden, saya yakin, ia juga mengambil keputusan serupa. Atau, malah akan tetap bertahan dengan harga yang ada.

Ingat, saat ia menjabat presiden selama 3 tahun, Megawati menaikkan harga BBM sebanyak 3 kali. Jadi, seharusnya sebelum melontarkan kritik, ada baiknya PDIP instropeksi dulu, apa saja yang pernah dilakukan Megawati. Iklan "sembako murah" yang kini ditawarkan di televisi dan radio serta media cetak, tidak bisa dijadikan sebagai tawaran yang menarik, karena justru akan merendahkan derajat petani kita.

Bagaimana menurut Anda Pembaca Budiman?

Ada Hikmah di Balik Bencana Itu!

Sabtu, 24 Januari 2009

Pada 26 Desember 2004 Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi pusat perhatian dunia lagi. Bukan lantaran terjadi gempa bumi dan gelombang tsunami lagi. Pemerintah Indonesia punya hajatan penting untuk memperingati satu tahun musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh.

Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter dan tsunami dengan kecepatan 500 km/jam yang terjadi pada 26 Desember 2004 itu menelan korban lebih dari 150 ribu warga Aceh meninggal dunia. Hampir sebagian besar wilayah Barat dan Utara Aceh disapu bersih tsunami yang masuk ke darat.

Di Banda Aceh saja gelombang tsunami sempat mencapai 5 km dari pantai. Inilah bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2001-2004. Selama kurun waktu itu terjadi 22 gempa. Gempa berkekuatan 7,5 skala richter disertai tsunami pernah terjadi di Flores, NTT pada 1992 dengan korban tewas 1.952 orang.

Pada 1994, gempa berkekuatan 5,9 skala richter disertai tsunami melanda Banyuwangi menelan korban 238 orang tewas. Pada 6 Februari 2004, gempa berkekuatan 6,9 skala richter menimpa Nabire, Papua menewaskan 35 orang. Pada 16 November 2004, gempa dengan 6,0 skala richter juga menimpa Alor, NTT dan menelan korban tewas 33 orang.

Terakhir, pada 26 November 2004, Nabire kembali dilanda gempa berkekuatan 6,4 skala richter dan menelan korban 13 orang tewas. Di saat perhatian tertuju ke Alor dan Nabire, tiba-tiba Aceh dilanda gempa dan tsunami. Perhatian masyarakat Indonesia dan dunia pun tertuju ke Aceh.

Karena gempa dan tsunami Aceh ini adalah bencana terbesar di dunia sejak 1964. Pusat gempa berjarak sekitar 150 km dari Kota Meulaboh dengan kedalaman sekitar 10 km. Getaran gempa dan gelombang tsunami itu juga melanda India, Srilanka, Myanmar, Bangladesh, Baladewa, Thailand, dan Malaysia.

Total jumlah korban gempa dan tsunami, termasuk yang menimpa Aceh, ini sudah mencapai sekitar 270.000 orang tewas. Kendati musibah yang melanda Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara (Sumut) itu sudah berlalu, namun trauma peristiwa tersebut tak bisa hilang dari benak pikiran kita.

Apa yang sebenarnya terjadi di Serambi Mekkah itu? Mungkin sedikit uraian berikut ini bisa menjawabnya. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah Aceh adalah penghasil minyak dan gas. Entah sudah berapa banyak yang telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi.

Sehingga, sebagian besar rongga perut bumi di bawahnya menjadi kosong karena sudah disedot ke daratan. Akibatnya, lapisan atau kerak bumi yang ada di atasnya menjadi ambrol. Karena tak ada lagi minyak dan gas yang seharusnya berfungsi sebagai pelumas dan penahan beban lapisan itu.

Jadi, bukan semata-mata karena ada pergeseran lempeng dasar laut saja, seperti kata para pakar gempa dan geologi. Warna air laut coklat-kehitaman akibat gempa bumi itu sebenarnya adalah sisa-sisa minyak yang keluar dari rongga perut bumi di bawah lautan Aceh.

Setelah lapisan bumi tersebut ambrol, maka air laut masuk ke dalam rongga perut bumi yang kosong itu. Dengan masuknya air laut menggantikan minyak dan gas yang sudah tak ada lagi itu, maka berkurang pula getaran yang ditimbulkan akibat gesekan kerak bumi di dalamnya.

Para ahli geologi dan pakar gempa tak pernah berpikir bahwa kosongnya rongga perut bumi itu bisa menyebabkan ambrolnya lapisan bumi yang ada di atasnya. Jika eksplorasi minyak itu berlangsung di darat, dampak gempa itu lebih dahsyat, seperti yang pernah terjadi di dataran Republik Rakyat China (RRC) pada 27 Juli 1976.

Korban akibat gempa berkekuatan 8,0 skala richter di Tangshan, China itu mencapai 250.000 orang tewas. Gempa dengan jumlah korban yang besar juga pernah terjadi di Mexico City pada 19 September 1985 berkekuatan 7,6 skala richter dengan korban 10.000 orang tewas.

Di Armenia pada Desember 1988, gempa berkekuatan 6,9 skala richter dengan korban tewas 25.000 orang. Gempa berkekuatan 7,4 skala richter juga menimpa Turki pada 17 Agustus 1999 dan menewaskan 17.000 orang. India Barat juga pernah dilanda gempa pada 26 Januari 2001.

Gempa berkekuatan 7,9 skala richter itu menelan korban tewas 30.000 orang. Yang terbaru terjadi di Bam, Iran, pada 26 Desember 2003. Gempa berkekuatan 6,7 skala richter itu telah menelan korban 50.000 orang meninggal. Dan tepat setahun setelah gempa di Bam itu, Aceh juga dilanda gempa dan tsunami terdahsyat sejak 1964.

Belum lama ini, gempa juga menimpa perbatasan India, Pakistan, dan Afghanistan dengan jumlah korban yang tak sedikit pula. Semua wilayah yang dilanda gempa itu termasuk daerah yang kaya minyak bumi yang sudah puluhan tahun dieksplorasi, seperti halnya wilayah Aceh.

Dampak akibat eksplorasi minyak itu memang baru terasa setelah puluhan tahun. Jika eksplorasi itu berlangsung di lautan, maka gempa itu akan diikuti dengan tsunami. Kata pakar gempa Wong Wingtak di Hongkong Observatory, tsunami adalah gelombang pasang nan dahsyat yang disebabkan gempa bumi di lempeng dasar laut.

Gelombang itu bisa menerpa lokasi dalam jarak yang jauh dalam waktu cepat. Akibat guncangan sismik yang kuat itu, tsunami bisa mencapai ketinggian dan kecepatan yang luar biasa. Tak hanya itu. Bahkan, guncangan itu bisa menimbulkan gelombng sejauh ribuan kilometer dari asalnya dengan efek yang merusak.

Korban pun selalu berjatuhan. Gelombang nan dahsyat itu juga dapat dilihat di lautan. Namun jika kita naik kapal, mungkin kita malah tak merasakan adanya tsunami. Tapi tsunami justru punya kekuatan mahadahsyat ketika mendekati pantai dan menjangkau perairan yang dangkal.

Saat itulah, kekuatannya bisa mendorong gelombang lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang permukaan laut. Wong menyebutkan, sebenarnya beberapa gejala alam bisa mengakibatkan tsunami. Misalnya, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Tapi, penyebab yang paling umum adalah gempa di dasar laut.

Kawasan Pasifik termasuk yang paling sering mengalami gempa bawah laut. Hal itu terkait pergerakan lempeng tektonik bumi. Gelombang pasang bukanlah fenomena umum dalam kasus terjadinya gempa di dasar laut. Sebab, kata Wong, hanya gempa berkekuatan di atas 7,7 skala richter yang bisa menyebabkan gelombang pasang.

Tsunami bisa menyapu ke segala arah dari pusat gempa dan menyerang seluruh garis pantai. Kecepatan gelombang tsunami terkait kedalaman laut. Kecepatannya bisa sampai ratusan kilometer per jam. Pada 1960, misalnya, gelombang pasang berkecepatan 750 km per jam menghantam Jepang menyusul serangkaian gempa di Cile dan Samudera Pasifik.

Ratusan orang tewas saat itu. Pada September 1992, tsunami menyapu wilayah Pantai Nikaragua, sebanyak 13.000 orang tewas. Pada 17 Juli 1998, dua gempa berkekuatan 7 skala richter menyebabkan gelombang setinggi 7 meter dan menghancurkan kawasan sejauh 30 km dari pantai utara Panua Nugin yang menewaskan 2.123 orang di 7 desa.

Bencana alam yang terjadi di muka bumi ini tak lepas dari Kehendak Yang Maha Kuasa. Tak salah bila Ebiet G. Ade dalam sebuah lirik lagunya menyebut, “Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya. Kita mesti tabah menjalani. Hanya cambuk kecil agar kita sadar. Adalah Dia diatas segalanya.”

Demikian pula gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh. Musibah itu seolah berkata, menjawab, tiada kekuasaan dan kesombongan dunia yang bisa menolak kehendak-Nya.
Dalam bahasa agama, setidaknya ada tiga hikmah yang bisa dipetik dari bencana di Indonesia.

Pertama, bagi orang yang beriman, musibah itu merupakan ujian bagi umat manusia. Kedua, merupakan teguran terhadap para pimpinan kita yang selama ini “menganiaya” Aceh. Dan ketiga, bisa diartikan juga sebagai hukuman terhadap para pimpinan kita yang menjadikan Aceh sebagai “objek” kepentingan politis.

Boleh jadi, Tuhan mungkin sudah “marah” pada kita. Atau, seperti lirik lagu Ebiet lainnya, “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.” Perilaku seks bebas dan hamil duluan tak tabu lagi bagi para artis. Pejabat tak malu lagi pamer harta hasil korupsinya.

Hakim lebih tunduk pada politisi ketimbang Tuhan. Para pejabat lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat. Negara maju pun tak lagi menghargai hukum Internasional. Atas nama “demokrasi”, Amerika Serikat (AS) dengan tak segan-segan merusak tatanan negara Afghanistan dan Irak.

Itulah awal dari semua bencana di muka bumi ini. Bukankah Tuhan sudah berpesan, “Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi!” Kalau kita percaya pada Kitab Suci, maka tak perlu, “Bertanya pada rumput yang bergoyang.” Jadi, ada baiknya minyak yang masih ada di rongga perut bumi ini kita jaga dan pelihara.*

Jadi, Siapa Pembunuh Munir Sebenarnya?

Minggu, 11 Januari 2009

Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwopranjoyo, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), terdakwa pembunuh Munir Said Thalib, pada 31 Desember 2008 akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Suharto. Jaksa Cyrus Sinaga dinilai tak bisa membuktikan “motif dendam”.

Sebelumnya, Jaksa Cyrus mengurai motif mantan Danjen Kopassus itu “menghabisi” terkait langkah Munir mengungkap kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998 oleh Tim Mawar Kopassus. Ia lalu dicopot dari Danjen Kopassus yang baru diemban 52 hari. Ini menyebabkannya sakit hati dan dendam.

Dakwaan terhadap Muchdi juga didasarkan atas keterangan Corporate Security PT Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto (telah divonis 20 tahun). Polly mengaku sudah mendapatkan “ikan besar” di Singapura. Maknanya, lanjut Jaksa Cirus, dia berhasil membunuh Munir.

Atas tuduhan itu, BIN tak bisa begitu saja lepas tangan dari konsekuensi hukum yang dihadapi Muchdi. Apalagi, Polly, mantan Dirut Garuda Indra Setiawan, dan Direktur VI BIN Budi Santoso, juga menyebut Muchdi, mantan Kepala BIN Hendropriyono, serta Wakilnya M. As’ad Ali di persidangan.

Haruskah BIN membuka misteri kematian Munir secara transparan? Tak ada salahnya jika BIN terpaksa harus membukanya. Mengapa harus Munir dibunuh? Siapa sebenarnya pelakunya? Adakah ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM Indonesia? Adakah ini hasil operasi Indonesia Contra?

Artinya, Munir justru dihabisi intelijen asing (baca: Central Inteligence Agency-CIA) dalam operasi Indonesia contra? Mengapa Polly terbang satu pesawat dengan Munir? Ini tak diungkap secara transparan – meski di persidangan terungkap, dia jaringan BIN. Apa benar “ikan besar” itu adalah Munir thok?

Rencana Munir melanjutkan studinya di Belanda sebenarnya telah diketahui BIN atas laporan agen yang dekat dengan Munir. Selain untuk studi dengan biaya sebuah lembaga asal Amerika Serikat (AS), sedianya pada 7 September 2004 itu Munir mau menyerahkan “dokumen rahasia” pelanggaran HAM.

Konon, Munir dari Jakarta membawa 2 tas. Koper berisi pakaian, dan tas kerja hitam isinya dokumen pelanggaran HAM di Indonesia seperti peristiwa Tanjungpriok, Warsidi Lampung, Timor-Timur, dan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh. Jadi, “ikan besar” itu adalah sandi dari “dokumen rahasia”?

Sejak berangkat dari Jakarta, Munir dikawal 6 agen asing yang beroperasi Indonesia. Mereka membayangi Munir untuk memastikan keamanan selama perjalanannya. Tapi, ternyata mereka tahu jika keberangkatan Munir itu juga dibayangi agen BIN. Sehingga, rencana itu gagal. Jadi, ini masalahnya!

Sebagai jaringan BIN, wajar jika Polly juga tahu rencana “serah-terima” dokumen di Bandara Changi, Singapore. Makanya, Polly selalu bersama Munir hingga rehat di Café Bean, Changi. Karena gagal, agen asing yang menyaru sebagai pelayan café itu meracuni minuman Munir dengan arsenik cair.

Padahal, Polly sempat mencegah agar Munir tak meminumnya, dan menawarkan kopi pesanannya, tapi ditolak. Beberapa saat sebelum meninggalkan cafe, Munir mulai tampak linglung. Bisa jadi, Munir dibunuh karena dianggap membahayakan jika BIN menangkap Munir dan agen asing penerima tas itu.

Supaya jaringan intelijen asing ini tak terbongkar, maka Munir harus dihabisi. Selang sekitar 3 jam setelah Garuda meninggalkan Bandara Changi, melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Munir mulai sakit perut dan muntah. Pertolongan dr. Tarmizi Hakim di atas pesawat, gagal: Munir tewas!

Anehnya, hasil otopsi lembaga forensik pemerintah Belanda (Netherland Forensisch Instituut-NFI) baru diketahui 2 bulan kemudian. Disebutkan, di lambung Munir terdapat kandungan racun arsenik melebihi batas maksimal yang bisa ditoleransi tubuh: 456 mg.

Mengapa NFI menyerahkan hasil otopsinya pada Indonesia begitu lama? Mungkinkah lembaga intelijen Belanda FDN dan Inggris M-16 terlibat dalam operasi Indonesia contra ini? Sudah bukan rahasia lagi, beberapa lembaga intelijen asing rajin mendanai aktivitas “pejuang” HAM di Indonesia.

Untuk membuktikan sinyalemen itu, ada baiknya dilakukan audit terhadap beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, darimana dana pendukung aktivitas mereka. Bukan tidak mungkin, KONTRAS yang didirikan Munir juga sering menerima dana bantuan semacam itu.

Imbalannya, melalui LSM yang dibiayainya, intelijen asing bisa memperoleh beragam informasi penting seperti dokumen rahasia yang saat itu dibawa Munir hingga di Bandara Changi. Sayangnya, begitu Munir ditemukan tewas, tas hitam itu raib. Entah dari intelijen mana yang mengambilnya.

Dengan kematian Munir, pihak yang paling dirugikan adalah intelijen Indonesia (baca: BIN). Sebab, BIN menganggap, Munir adalah aset negara yang bisa dimanfaatkan untuk membongkar jaringan intelijen asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, tidak mungkin BIN terlibat pembunuhan Munir.

Apalagi, penyebab kematian Munir adalah racun arsenik cair yang tak dimiliki BIN. Dari puluhan jenis racun arsenik, yang meracuni Munir adalah jenis arsenik yang hanya dimiliki CIA. Dari investigasi BIN di Changi setelah kasus itu, pelayan yang mengantar minuman sudah tidak ada lagi.

Terungkap pula, ternyata si pelayan baru bekerja di café itu sekitar 3 bulan. Setelah Munir terbunuh, pelayan ini menghilang. Pemilik café juga berganti. Jadi, sejak 3 bulan sebelumnya, Munir menjadi target operasi Indonesia contra. Berhasil atau gagal memberi dokumen, Munir tetap dibunuh!

Bagi intelijen asing, dokumen yang dibawa Munir itu sangat penting. Sebab, dengan dokumen itu, mereka bisa menyeret Indonesia ke Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda. NFI sendiri cenderung mempersulit pemerintah Indonesia ketika meminta hasil otopsi dan sample organ Munir.

Itu yang memperkuat dugaan, operasi Indonesia contra atas Munir ini juga melibatkan intelijen FDN. Terlebih lagi, Suciwati, istri Munir menolak otopsi ulang. Padahal, dengan otopsi ulang atas jenazah Munir, bisa mengungkap dugaan adanya keterlibatan agen asing dalam pembunuhan Munir ini.

Sayangnya, Polri tak berusaha menyentuh dugaan tersebut. Polri lebih suka mengusik mantan pejabat BIN seperti Muchdi. Padahal, di manapun tidak semua operasi intelejen bisa dibuka secara transparan. Jadi, ada baiknya BIN mengungkap hasil investigasinya ke publik agar tidak timbul fitnah.*