Bahaya Politik Balas Dendam

Senin, 16 Februari 2009

Oleh : MOCHAMAD TOHA

Sejarah Raja-raja Jawa mencatat, Ken Arok awalnya hanya seorang rakyat jelata, anak Ken Endok, petani desa di tepi Sungai Brantas di kawasan Tumapel, yang berada di utara Kota Malang sekarang. Ia lahir dalam keadaan yatim. Ibunya lalu membuangnya dengan harapan agar bayi itu ditemukan dan diasuh seseorang.

Ken Arok akhirnya ditemukan Lembong, seorang pencuri. Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sebagai pencuri dan penyamun, menjadi pencuri cerdik dan panjang akal. Lantaran tangguh dan uletnya, nama Ken Arok sampai terdengar Tunggul Ametung, Raja Tumapel. Ia pun diangkat menjadi Punggawa Raja.

Sebagai salah seorang pengawal raja, Ken Arok selalu berada di dekat Raja Tumapel itu. Karena dekat, ia pun sering melihat dan tertarik dengan kecantikan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Kecakapannya ternyata juga menjadi daya tarik bagi Ken Dedes. Ken Arok lantas menyusun siasat untuk merebut Ken Dedes.

Ia bertekad “merampas” Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung. Satu-satunya jalan ya harus membunuhnya. Ken Arok lalu memesan keris kepada Empu Gandring. Namun, belum tuntas garapan kerisnya, ternyata Ken Arok keburu datang. Ia marah dan menusuk Empu Gandring dengan keris pesanannya sampai tewas.

Konon, sebelum tewas, Empu Gandring sempat bersumpah, 7 orang raja akan menjadi korban keris itu. Tunggul Ametung menjadi korban pertama. Ken Arok pun menjadi raja, setelah memperistri Ken Dedes. Di tangan Ken Arok, Sri Kertajaya, Raja Kadiri, berhasil dikalahkan dalam Perang Ganter yang terjadi pada 1222.

Sejak itu tamatlak riwayat Kerajaan Kadiri yang dibangun Raja Kahuripan Airlangga. Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singosari dan bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Amurwabhumi, dan memerintah hanya dalam kurun waktu 5 tahun (1222-1227). Ia tewas di tangan pengalasan Anusopati, putra Tunggul Ametung.

Tidak hanya sampai di sini. Keris Empu Gandring ini juga akhirnya menjadi pencabut nyawa Anusopati yang sempat menjadi Raja Singasari. Pelakunya adalah Tohjaya, anak Ken Arok dari selir Ken Umang. Di sinilah muncul “politik balas dendam” dalam wangsa Ken Arok yang kelak menjadi cikal bakal raja-raja Jawa.

Hasil perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes membuahkan anak bernama Mahesa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rimbu. Dari selir Ken Umang, Ken Arok memiliki anak bernama Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi. Politik balas dendam inikah yang diwarisi sekarang ini?

Ketika Presiden Soekarno dijatuhkan lewat Super Semar, mendiang Bung Karno tidak mau ditengok Presiden Suharto di saat-saat menjelang akhir hayatnya. Tatkala Presiden Suharto dilengserkan Ketua DPR-MPR Harmoko yang lantas menetapkan B.J. Habibie sebagai Presiden RI, dendam politik masih saja terjadi.

Hingga menjelang akhir hayatnya, Habibie dan Harmoko belum pernah bertemu Pak Harto. Situasi seperti ini sempat pula ditempuh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, setelah dijatuhkan Ketua DPR Akbar Tanjung bersama Ketua MPR Amin Rais yang lalu mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.

Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim As’ary yang akrab dipanggil Gus Dur tersebut sempat enggan bicara dan bertemu dengan Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Megawati, karena merasa “dikhianati”. Dalam setiap upacara HUT RI pun, Gus Dur tak pernah hadir di Istana Negara. Ini politik balas dendam!

Kenyataan seperti itu kini juga dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bibit dendam politik ini mulai muncul sejak SBY mundur dari jabatan Menkopolkam di masa pemerintahan Presiden Megawati. Bapak Negara Taufik Kiemas, suami Megawati, pernah menyebut SBY sebagai jenderal “kekanak-kanakan”.

Sejak itulah bibit “konflik politik” antara Pemerintah (baca: SBY – Wakil Presiden M. Jusuf Kalla) dengan Megawati sebagai “oposisi” mulai tumbuh. Kebijakan Pemerintah selalu dikritisi secara negatif. Megawati pernah menilai Pemerintah seperti tarian Poco-Poco, maju selangkah, mundur dua langkah. Lalu dibalas!

Jika kebijakan pemerintahan SBY-JK tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, “Megawati ibarat penari undur-undur.” Artinya, “Tidak pernah maju, tetapi mundur terus.” Jika Megawati berhasil, mestinya menang dari SBY. Ternyata Megawati kalah alias tidak dipilih kembali oleh rakyat Indonesia.

Wapres JK tak kalah sengit. Prestasi pemerintahannya bersama SBY jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pemerintahan Megawati. Kata JK, poco-poco itu sehat. Lagian, “Gerakannya bersatu. Langkah (dalam tarian poco-poco) itu yang paling ritmis.” JK balik menyebut, pemerintahan Megawati ibarat “tarian dansa”.

Hanya berputar-putar di tempat. “Poco-poco jauh lebih baik dari dansa-dansa yang berputar-putar, sambil jualan gas yang murah pula,” ungkapnya. Pada 24 Maret 2002, Megawati menjalankan “diplomasi dansa” dengan Presiden Tiongkok Jiang Zamin saat berkunjung ke Beijing.

Ketika itu, Megawati menyanyikan lagu Bengawan Solo di depan Presiden Jiang yang disambut lagu Tiongkok Bagaimana Saya Tak Kehilangan Dia. Diplomasi dansa dijalani Megawati untuk melobi Beijing agar mau membeli LNG dari lapangan Tangguh di Papua untuk industri di Guang Zhou dan Fujian.

Dan, diplomasi ini berhasil membuahkan kontrak penjualan sebesar 2,6 juta metric ton LNG per tahun untuk Provinsi Fujian dengan harga jual USD 2,4 per MMBTU (Million British Thermal Unit). Harga itu jauh lebih murah dibanding dengan harga pasar yang saat itu mencapai USD 6 per MMBTU.

JK jelas tahu mengenai hal tersebut. Karena, dia dulu pernah menjadi Menkokesra di pemerintahan Presiden Megawati menjabat presiden. JK juga tak mau jika pemerintahan yang dibangun bersama SBY dinilai gagal. Kini, Megawati tetap menilai negatif terhadap kinerja Presiden SBY dengan sebutan seperti Yoyo.

Penilaian Megawati itu dijawab dengan iklan “naik-turun” anggaran dan harga BBM. Rakyat hanya bisa menjadi penonton telenovela panggung politik dan perseteruan para pemimpin mereka. Tak hanya itu. Rakyat lantas bisa menilai, ternyata para politisi dan pemimpin kita memang seperti “kekanak-kanakan”.@

Di posting from www.koransuroboyo.com

0 comments