Etika Politik Iklan Politisi

Minggu, 01 Februari 2009

Sumber : Jawa Pos [Sabtu, 31 Januari 2009]

Simak iklan ini: “Saya, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan menginstruksikan kepada segenap jajaran pengurus DPD, DPC, PAC, dan Ranting beserta seluruh kader, anggota, dan simpatisan PDI Perjuangan se-Jawa Timur untuk membela dan mempertahankan kemenangan KAJI dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur tanggal 4 November 2008, sesuai hasil quick count dan hitung manual Tim Kaji. Lawan dan hadapi, segala bentuk aksi kecurangan dan pendholiman”.

Pantaskah instruksi terbuka mantan dan calon presiden yang dapat membakar emosi, membangkitkan amarah, dan menyulut benturan antar massa itu diucapkan oleh seorang tokoh dan politisi sekaliber Megawati? Kalimat yang disampaikan itu jelas tanpa tedeng aling-aling dan merasa “paling benar”.


Iklan politik yang mengajak “lawan dan hadapi” perilaku curang dan dholim dalam Pilgub Jatim putaran II antara pasangan calon gubernur-wakil gubernur (cagub-cawagub) Khofifah-Mudjiono (Ka-Ji) dengan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KarSa) itu bisa memicu konflik horizontal di Jatim.

Jika instruksi itu ditelan mentah-mentah tanpa pertimbangan, dapat berakibat fatal dan akan merugikan banyak pihak, terutama pendukung KarSa. Mereka bisa menjadi sasaran amarah pendukung Ka-Ji. Apakah ini yang dikehendaki para politisi di sekitar Megawati?

Megawati yang notabene seorang Ibu tak mungkin tega melihat “anak-anak” bangsa ini bertikai sampai berdarah-darah hanya karena berebut jabatan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Mungkin memang seperti itulah kualitas politisi kita. Tidak punya etika politik dalam beriklan!

Bicaranya ngawur dan provokatif tanpa menghitung dampak yang bisa terjadi. Pesan yang disampaikan cenderung menyerang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah gerah ketika Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto merilis “iklan miskin” di media televisi.

Dalam iklan di awal 2008 lalu itu, Wiranto melakukan “serangan terbuka” terhadap Presiden SBY. Angka kemiskinan di Indonesia yang diungkap Wiranto acuannya Bank Dunia sebesar 49,5 persen. Sedangkan Presiden SBY memakai data Biro Pusat Statistik (BPS): 16,5 persen.

Iklan Wiranto itu berbeda dengan iklan Prabowo Subianto. Pesan iklan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini lebih simpatik. Mengajak rakyat untuk mengkonsumsi produk pertanian kita. Juga mengungkap betapa kayanya alam Indonesia Menggugah semangat kemandirian.

Wajar jika iklan Prabowo tersebut bisa mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya sebagai salah satu capres yang naik terus, seperti ditunjukkan Lembaga Survey Nasional (LSN). Hasil jajak pendapat LSN pada 20-27 September 2008 memposisikan Prabowo di tiga besar, setelah SBY dan Megawati.

Sayangnya, pesan peningkatan taraf hidup petani yang disampaikan Prabowo itu telah direndahkan Megawati dengan kampanye “sembako murah” yang ditayangkan di televisi.
Iklan sembako murah itu bisa menjadi blunder bagi PDIP dan Megawati.

Lihat saja reaksi Ketua Umum DPP Partai Golkar M. Jusuf Kalla (JK) yang menilai iklan sembako murah itu sebagai sesuatu yang “berbahaya”, karena merugikan 40 juta petani kita. JK pun minta rakyat tak memilih partai sembako murah.

Bagaimana iklan Golkar? Jika disimak, munculnya iklan JK “juru damai” di televisi ini sejatinya adalah bentuk reaksi atas iklan Partai Demokrat (PD) yang mengakui 3 kali penurunan harga BBM sebagai “sukses” Presiden SBY. Iklan BBM turun 3 kali ini pula yang direaksi keras oleh PDIP.

Terlepas dari hitungan ekonomis penyebab turunnya harga BBM, mestinya PD tidak serta-merta mengklaim kebijakan itu sebagai sukses SBY semata. Ini yang menyebabkan Golkar “tersinggung”. Karena, penurunan harga BBM ini adalah keputusan Pemerintah, bukan SBY pribadi!

Di situ ada menteri “partai koalisi”, seperti Golkar, PPP, PAN, PBB, dan PD sendiri. Dari sini tampak sekali, partai kurang cerdik dalam mengemas isi pesan. Mungkin iklan “Hidup Adalah Perbuatan” Ketua Umum DPP PAN Sutrisno Bachir (SB) dan Prabowo lebih “beretika politik”.

Momen Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional dipakai SB supaya lebih dikenal masyarakat. SB rela merogoh koceknya sebesar Rp 300 miliar. Saat bertemu wartawan di Surabaya, SB mengakui, menjadi capres atau cawapres harus populer. Untuk itu memang butuh dana yang tidak sedikit.

Temuan Nielsen Media Research Indonesia pada 2008 mencatat, sekitar Rp 2,2 triliun dana telah dibelanjakan untuk kepentingan kampanye partai dan publikasi capaian kinerja pemerintah. Besaran belanja iklan politik dan pemerintah ini meningkat tajam sekitar 66 persen dibanding pada 2007 (Rp 1,32 triliun).

Data yang dirilis Business Development Nielsen Media Reserarch Maika Randini di Jakarta pada 20 Januari 2009 itu menyebutkan, alokasinya sebagian besar tersedot untuk media cetak, yaitu Rp 1,31 triliun. Nilai ini melampaui jumlah belanja iklan politik dan pemerintahan di televisi (Rp 862 miliar).

Sisanya, Rp 86 miliar, dibelanjakan di majalah. Riset itu juga menulis, banyak koran lokal yang menikmati dana iklan politik dan pemerintahan dari belanja iklan calon kepala daerah. Belanja iklan ini naik 181 persen dari Rp 64 miliar (2007) menjadi Rp 180 miliar (2008).

   PD rata-rata mengeluarkan dana Rp 15,5 miliar/bulan. Disusul Gerindra (Rp 8 miliar), Golkar (Rp 5 miliar), PKS (Rp 2 miliar), dan PDIP (Rp 1,5 miliar). Sebanyak 93 media cetak, 19 stasiun televisi, dan 151 majalah serta tabloid, telah menikmati duwit belanja iklan politik partai dan pemerintah.

Belanja iklan politik ini akan semakin intensif bersamaan dengan berjalannya “Tahun Politik 2009” dengan 2 agenda pemilu (Legislatif dan Presiden). Pertarungan iklan politik bisa semakin sengit. Hanya saja yang perlu dijaga, iklan itu harus punya etika politik dan materinya lebih cerdas.

Jangan menampilkan iklan bernada provokasi dan memojokkan. Sebab, pesan seperti ini bisa membuat rakyat antipati pada partai dan tokohnya. Rakyat kini tak bisa dikibuli dengan pesan dan janji politik. Rakyat sudah bosan dengan “konflik politik” yang tidak pernah selesai!*

0 comments